Huwae: KPK Punya Peluang Evaluasi Proses Izin Tambang PT. GBU di Romang
http://dewan.beritamalukuonline.com/2016/09/huwae-kpk-punya-peluang-evaluasi-proses.html
BERITA MALUKU. Komisi Pemberantasan Korupsi berpeluang melakukan evaluasi terhadap proses penerbitan izin produksi penambangan emas yang diberikan kepada PT Gemala Borneo Utama (GBU) di Pulau Romang, Kabupaten Maluku Barat Daya.
"KPK punya kewenangan mengevaluasi setiap proses perizinan bidang pertambangan dan minerba yang diterbitkan pemerintah, sudah pernah juga mengumumkan 700-an izin tambang yang dicabut atau tidak diperpanjang," kata Ketua DPRD Maluku, Edwin Adrian Huwae di Ambon, Minggu (11/9/2016).
Sehingga persoalan yang terjadi di Pulau Romang juga akan menjadi tugas dan tanggungjawab KPK untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
Dalam pertemuan Koalisi Save Romang Island dengan DPRD Maluku pada Rabu, (7/9) dilaporkan kalau GBU telah mengantongi izin usaha produksi penambangan emas dari pemprov sejak tahun 2015 dengan masa beroperasi selama 20 tahun dimana dua tahun untuk masa konstruksi dan 18 tahun produksi," kata Ketua DPRD Maluku.
Namun Koalisi Save Romang Island belum dapat membuktikan apakah produksi emas sudah dilakukan atau belum, kecuali untuk proses pengiriman sampel batuan mengandung emas yang dilakukan selama sepuluh tahun melalui perjanalan laut dan udara melalui Kota Ambon (Maluku) atau pun Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sempat ditahan aparat kepolisian.
Menurut Edwin, Save Romang harus bisa memberikan bukti objektif atas laporan yang disampaikan termasuk hasil kajian soal dampak negatif dan positif atas kehadiran perusahaan tambang di daerah itu, baik terhadap lingkungan maupun kondisi ekonomi, sosial dan budaya, serta adat-istiadat warga setempat.
Dia juga mengharapkan Save Romang bisa berperan aktif seperti Save Aru yang berhasil menolak rencana keharian sejumlah perusahaan konsorsium untuk membuka lahan perkebunan tebu skala besar di Kabupaten Kepulauan Aru.
Ketua Koalisi Save Romang Island, Colin Leppuy mengaku telah memberikan laporan tertulis tentang berbagai dugaan pelanggaran HAM, masalah kerusakan lingkungan, hingga keresahan warga yang akan dievakuasi dari pulau penghasil madu dan penyu itu kepada pimpinan DPRD Maluku.
"Romang itu pulau kecil berukuran 17.500 hektare tetapi rekomendasi Bupati MTB 23.700 Ha, kemudian GBU akan menggunakan metode penambangan secara terbuka dan adanya isu evakuasi warga ke pulau lain," katanya.
Koalisi Save Romang juga mengaku kehadiran aparat Brimob dan TNI di sana bukan melindungi masyarakat tetapi lebih berpihak pada perusahaan sehingga persoalan ini sudah lama diaporkan ke Pangdam XVI/Pattimura maupun Kapolda Maluku tetapi tidak ada reaksi apa pun.
"Kami juga pernah melaporkan masalah ini kepada Gubernur Maluku lewat pesan singkat (SMS) tetapi jawabannya laporkan saja pada Tuhan," tutur Colin Leppuy.
Sikap pemerintah seperti ini membuat Koalisi Save Romang Island menjadi pesimis dan merasa pemerintah tidak lagi memihak kepada masyarakat setempat sehingga mereka kembali mendatangi DPRD Maluku.
"KPK punya kewenangan mengevaluasi setiap proses perizinan bidang pertambangan dan minerba yang diterbitkan pemerintah, sudah pernah juga mengumumkan 700-an izin tambang yang dicabut atau tidak diperpanjang," kata Ketua DPRD Maluku, Edwin Adrian Huwae di Ambon, Minggu (11/9/2016).
Sehingga persoalan yang terjadi di Pulau Romang juga akan menjadi tugas dan tanggungjawab KPK untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
Dalam pertemuan Koalisi Save Romang Island dengan DPRD Maluku pada Rabu, (7/9) dilaporkan kalau GBU telah mengantongi izin usaha produksi penambangan emas dari pemprov sejak tahun 2015 dengan masa beroperasi selama 20 tahun dimana dua tahun untuk masa konstruksi dan 18 tahun produksi," kata Ketua DPRD Maluku.
Namun Koalisi Save Romang Island belum dapat membuktikan apakah produksi emas sudah dilakukan atau belum, kecuali untuk proses pengiriman sampel batuan mengandung emas yang dilakukan selama sepuluh tahun melalui perjanalan laut dan udara melalui Kota Ambon (Maluku) atau pun Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sempat ditahan aparat kepolisian.
Menurut Edwin, Save Romang harus bisa memberikan bukti objektif atas laporan yang disampaikan termasuk hasil kajian soal dampak negatif dan positif atas kehadiran perusahaan tambang di daerah itu, baik terhadap lingkungan maupun kondisi ekonomi, sosial dan budaya, serta adat-istiadat warga setempat.
Dia juga mengharapkan Save Romang bisa berperan aktif seperti Save Aru yang berhasil menolak rencana keharian sejumlah perusahaan konsorsium untuk membuka lahan perkebunan tebu skala besar di Kabupaten Kepulauan Aru.
Ketua Koalisi Save Romang Island, Colin Leppuy mengaku telah memberikan laporan tertulis tentang berbagai dugaan pelanggaran HAM, masalah kerusakan lingkungan, hingga keresahan warga yang akan dievakuasi dari pulau penghasil madu dan penyu itu kepada pimpinan DPRD Maluku.
"Romang itu pulau kecil berukuran 17.500 hektare tetapi rekomendasi Bupati MTB 23.700 Ha, kemudian GBU akan menggunakan metode penambangan secara terbuka dan adanya isu evakuasi warga ke pulau lain," katanya.
Koalisi Save Romang juga mengaku kehadiran aparat Brimob dan TNI di sana bukan melindungi masyarakat tetapi lebih berpihak pada perusahaan sehingga persoalan ini sudah lama diaporkan ke Pangdam XVI/Pattimura maupun Kapolda Maluku tetapi tidak ada reaksi apa pun.
"Kami juga pernah melaporkan masalah ini kepada Gubernur Maluku lewat pesan singkat (SMS) tetapi jawabannya laporkan saja pada Tuhan," tutur Colin Leppuy.
Sikap pemerintah seperti ini membuat Koalisi Save Romang Island menjadi pesimis dan merasa pemerintah tidak lagi memihak kepada masyarakat setempat sehingga mereka kembali mendatangi DPRD Maluku.