DPRD Maluku Menilai Izin Operasional PT. GBU Romang Harus Dikaji Ulang
http://dewan.beritamalukuonline.com/2016/07/dprd-maluku-menilai-izin-operasional-pt.html
BERITA MALUKU. Komisi B DPRD Maluku menilai tiga surat keputusan (SK) gubernur tertanggal 29 Oktober 2015 yang mengizinkan PT. Gemala Borneo Utama (GBU) melakukan penambangan emas di Pulau Romang, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) harus dikaji ulang.
"Ada tiga SK gubernur yang dikeluarkan untuk izin operasional GBU yakni SK pertama NO.260 A tahun 2015, SK nO.260 B dan 260 C tahun 2015," kata anggota komisi B DPRD Maluku, Samson Atapary, di Ambon, Jumat (15/7/2016), Yang mengerikan, Pemprov Maluku mengambil tindakan dalam posisi yang tidak waras karena memberikan konsesi izin penambangan emas untuk PT. GBU sekitar 60 persen dari luas lahan Pulau Romang hanya sekitar 17.000 Ha.
Berarti cakupan wilayah kerjanya lebih dari 60 persen luas daratan pulau akan dirusaki karena dieksploitasi untuk kepentingan perusahaan.
Menurut Samson, Komisi B telah melakukan rapat dengar pendapat dengan Kepala Dinas ESDM Maluku Martha Nanlohy dan sesuai penjelasanya, hasil penelitian dan survei didapati posisi kandungan emasnya 50 meter sampai 100 meter di bawah permukaan tanah sehingga GBU akan mengacak-acak pulau tersebut sebesar 60 persen.
Kemudian kalau dilihat dari Undang-Undang tentang Tata Ruang, maka setiap kawasan atau daerah minimal diperuntukan 30 persen untuk kawasan hutan dan tidak bisa dilakukan kegiatan apa pun untuk kepentingan ruang terbuka hijau.
Maka bila 30 persen wilayah dtambah 60 persen lahan yang sudah diambil untuk penambangan emas oleh GBU berarti luas total lahan itu kurang lebih 90.000 hektare yang Pemprov Maluku atau negara sudah cabut untuk kepentingan perusahaan dan hanya tersisa 10 persen daratan untuk masyarakat.
"Bayangkan 10 persen sisa lahan itu apakah orang Romang bisa memakai untuk keberlangsungan hidup mereka atau tidak, dan ini namanya membunuh masyarakat setempat kalau melihat kebijakan seperti begini sehingga mestinya dikaji oleh pemerintah," tandas Samson.
Dalam rapat kerja dengan Dinas ESDM, Komisi B telah meminta Pemprov Maluku harus melakukan kajian dari aspek ekonomi dan ekologisnya.
Kalau pertambangan ini hanya mendapat keuntungan jangka pendek pemasukannya ke pemerintah antara Rp100 miliar hingga Rp200 miliar, mestinya ditinjau kembali kecuali mendatangkan keuntungan triliunan rupiah untuk masyarakat Maluku, maka bisa dibicarakan program relokasi masyarakatnya.
"Namun bila jangka pendek, maka Pemprov Maluku, terutama gubernur Said Assagaff harus berhati-hati.
"Saya mengimbau perlu melihat permasalahan ini dengan hati dalam prespektif kita sebagai orang Maluku. Apalagi Romang termasuk kategori pulau-pulau kecil berdasarkan UU pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir," katanya.
Komisi B juga mengaku sangat kaget dengan hasil presentasi Kadis ESDM Maluku dalam rapat kerja tersebut karena ini namanya Pemprov setempat secara sadar membunuh masyarakat Romang yang hanya memberikan kurang lebih 10 persen dari luas total areal Pulau Romang 17.000 M2 untuk keberlangsungan hidup mereka.
10 persen sisa wilayah bagi masyarakat ini bukan hanya untuk bertani tetapi sudah termasuk pemukiman, sehingga secara jangka panjangnya telah membunuh mereka sehingga izin ini sebaiknya ditinjau ulang karena mematikan masyarakat serta ekosistem lingkungan yang ada di Pulau Romang.
Komisi B juga menjadwalkan rapat ulang dengan Dinas ESDM serta Bappedalda, dan yang paling penting adalah mengagendakan perjalanan ke Pulau Romang sehingga bisa melihat secara menyeluruh.
Terpenting, perlu diperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan didapatkan dari areal ini, berapa deposit emas dan kalau diuangkan berapa banyak nilainya untuk kepentingan masyarakat Maluku dengan kerusakan ekologi yang begitu parah.
Selain kerusakan ekologi, dampak negatif lainnya adalah persoalan sosial dan budaya masyarakat yang akan hilang. Bila Pulau Romang rusak maka dia mengganggu daya dukung seluruh ekosistem pulau-pulau yang ada di Kabupaten MBD.
"Kadis ESDM tidak bisa menjelaskan persoalan ini secara detail, sebab kita lihat tidak wajar, di mana luas pulau 17 ribu hektare dikasih 60 persen dan ditambah 30 persen, maka Pemkab MBD dan Gubernur harus melihat ini dengan hati bukan kepentingan uang. Jangan dalam prespektif Jakarta lalu seakan-akan melihatnya Pulau Romang tidak bertuan," tegas Samson.
"Ada tiga SK gubernur yang dikeluarkan untuk izin operasional GBU yakni SK pertama NO.260 A tahun 2015, SK nO.260 B dan 260 C tahun 2015," kata anggota komisi B DPRD Maluku, Samson Atapary, di Ambon, Jumat (15/7/2016), Yang mengerikan, Pemprov Maluku mengambil tindakan dalam posisi yang tidak waras karena memberikan konsesi izin penambangan emas untuk PT. GBU sekitar 60 persen dari luas lahan Pulau Romang hanya sekitar 17.000 Ha.
Berarti cakupan wilayah kerjanya lebih dari 60 persen luas daratan pulau akan dirusaki karena dieksploitasi untuk kepentingan perusahaan.
Menurut Samson, Komisi B telah melakukan rapat dengar pendapat dengan Kepala Dinas ESDM Maluku Martha Nanlohy dan sesuai penjelasanya, hasil penelitian dan survei didapati posisi kandungan emasnya 50 meter sampai 100 meter di bawah permukaan tanah sehingga GBU akan mengacak-acak pulau tersebut sebesar 60 persen.
Kemudian kalau dilihat dari Undang-Undang tentang Tata Ruang, maka setiap kawasan atau daerah minimal diperuntukan 30 persen untuk kawasan hutan dan tidak bisa dilakukan kegiatan apa pun untuk kepentingan ruang terbuka hijau.
Maka bila 30 persen wilayah dtambah 60 persen lahan yang sudah diambil untuk penambangan emas oleh GBU berarti luas total lahan itu kurang lebih 90.000 hektare yang Pemprov Maluku atau negara sudah cabut untuk kepentingan perusahaan dan hanya tersisa 10 persen daratan untuk masyarakat.
"Bayangkan 10 persen sisa lahan itu apakah orang Romang bisa memakai untuk keberlangsungan hidup mereka atau tidak, dan ini namanya membunuh masyarakat setempat kalau melihat kebijakan seperti begini sehingga mestinya dikaji oleh pemerintah," tandas Samson.
Dalam rapat kerja dengan Dinas ESDM, Komisi B telah meminta Pemprov Maluku harus melakukan kajian dari aspek ekonomi dan ekologisnya.
Kalau pertambangan ini hanya mendapat keuntungan jangka pendek pemasukannya ke pemerintah antara Rp100 miliar hingga Rp200 miliar, mestinya ditinjau kembali kecuali mendatangkan keuntungan triliunan rupiah untuk masyarakat Maluku, maka bisa dibicarakan program relokasi masyarakatnya.
"Namun bila jangka pendek, maka Pemprov Maluku, terutama gubernur Said Assagaff harus berhati-hati.
"Saya mengimbau perlu melihat permasalahan ini dengan hati dalam prespektif kita sebagai orang Maluku. Apalagi Romang termasuk kategori pulau-pulau kecil berdasarkan UU pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir," katanya.
Komisi B juga mengaku sangat kaget dengan hasil presentasi Kadis ESDM Maluku dalam rapat kerja tersebut karena ini namanya Pemprov setempat secara sadar membunuh masyarakat Romang yang hanya memberikan kurang lebih 10 persen dari luas total areal Pulau Romang 17.000 M2 untuk keberlangsungan hidup mereka.
10 persen sisa wilayah bagi masyarakat ini bukan hanya untuk bertani tetapi sudah termasuk pemukiman, sehingga secara jangka panjangnya telah membunuh mereka sehingga izin ini sebaiknya ditinjau ulang karena mematikan masyarakat serta ekosistem lingkungan yang ada di Pulau Romang.
Komisi B juga menjadwalkan rapat ulang dengan Dinas ESDM serta Bappedalda, dan yang paling penting adalah mengagendakan perjalanan ke Pulau Romang sehingga bisa melihat secara menyeluruh.
Terpenting, perlu diperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan didapatkan dari areal ini, berapa deposit emas dan kalau diuangkan berapa banyak nilainya untuk kepentingan masyarakat Maluku dengan kerusakan ekologi yang begitu parah.
Selain kerusakan ekologi, dampak negatif lainnya adalah persoalan sosial dan budaya masyarakat yang akan hilang. Bila Pulau Romang rusak maka dia mengganggu daya dukung seluruh ekosistem pulau-pulau yang ada di Kabupaten MBD.
"Kadis ESDM tidak bisa menjelaskan persoalan ini secara detail, sebab kita lihat tidak wajar, di mana luas pulau 17 ribu hektare dikasih 60 persen dan ditambah 30 persen, maka Pemkab MBD dan Gubernur harus melihat ini dengan hati bukan kepentingan uang. Jangan dalam prespektif Jakarta lalu seakan-akan melihatnya Pulau Romang tidak bertuan," tegas Samson.